Cerita ini menggambarkan sampai dimana keikhlasan seekor binatang dengan amalnya.
Dahulu kala Sang Bodhisattva dilahirkan kembali sebagai seekor kelinci.
Tempat tinggalnya di dalam rimba raya yang penuh dengan pohon-pohon yang
rindang dan daun-daunnya yang berwarna hijau sepanjang masa. Rumahnya
di dalam lubang kecil di tepi sungai. Karena tabiatnya yang halus dan
peramah, maka semua penghuni hutan itu menjadi sahabatnya.
Oleh
karenanya ia merasa sangat bahagia. Tambahan lagi ia mempunyai tiga
sahabat yang sangat akrab, yaitu seekor anjing air, seekor serigala dan
seekor kera. Mereka merupakan empat serangkai yang tidak terpisahkan dan
selalu bersama-sama. Seperti kata pepatah “ringan sama dijinjing berat
sama dipikul”.
Tidak ada satupun di antara kawan-kawannya yang mengira, bahwa kelinci
itu bukanlah kelinci yang biasa. Mengapa demikian? Ya, karena kelinci
itu demikian sederhananya, dan tingkah lakunya pun tidak berbeda dengan
binatang-binatang lain.
Tetapi kita tahu, bahwa kelinci itu
adalah penjelmaan dari Buddha yang akan datang. Sebab itu ia memiliki
sifat-sifat yang luhur. Dan keluhuran budinya itu ditunjukkannya dengan
sederhana sekali. Tetapi yang terpenting baginya ialah menjalankan
kebajikan beramal. Pada tiap-tiap kesempatan ia selalu menganjurkan
supaya kawan-kawannya berbuat amal.
Karena sangat rajin selalu menganjurkan berbuat amal, maka kelinci itu
sangat menarik perhatian binatang-binatang lain. Hali ini sampai pula
terdengar di khayangan, tempat tinggal para para dewa, terutama dewa
Cakra, yang memerintah semua dewa-dewa sangat tertarik kepada kelinci
itu. Timbullah pertanyaan pada diri Sang Cakra, apakah kelinci itu yakin
benar akan apa yang dianjur-anjurkannya tentang kebajikan beramal. Maka
tidaklah tertahan lagi keinginannya untuk mengetahui hal itu, lalu
dicarinya akal untuk mencoba keyakinan sang kelinci.
Dengan maksud itu ia turun dari khayangan dan menjelma menjadi seorang
pendeta yang sudah tua usianya. Badannya dibuatnya berkerut dan sengsara
seperti orang tua yang banyak menderita, miskin dan lapar.
Demikian pendeta itu sampai di hutan tempat tinggal kelinci. Tidak jauh
dari rumah kelinci, ia merendahkan diri dan merintih-rintih minta
tolong.
Seperti telah diterangkan di atas, kelinci itu selalu
bersama kawan-kawannya. Demikian juga sekarang. Ketika mereka mendengar
suara orang merintih minta tolong, berlari-larilah keempat binatang itu
menuju tempat datangnya suara. Dan apakah yang mereka lihat? Seorang
pendeta yang sudah tua, badannya kurus kering dan kepayahan.
Ibalah hati keempat binatang itu melihat kesengsaraan orang tua, apalagi
seorang pendeta yang suci. Bertambahlah terharu mereka melihat sang
pendeta hampir meninggal karena sangat lapar dan dahaga.
“Tunggulah,” kata mereka, “Kami akan mencarikan makanan dan minuman.”
Ya, memang demikianlah, mereka harus mencari dahulu jika hendak makan
dan minum. Anak-anak tentu mengerti juga, bahwa binatang-binatang hutan
itu tidak mempunyai apa-apa di rumahnya. Mereka harus mencari makanan di
mana-mana. Dan di mana saja terdapat makanan, di situlah mereka makan
sampai kenyang.
Demikianlah, maka tidak lama kemudian si anjing air kembali dengan
membawa tujuh ekor ikan. Ikan-ikan itu diberikannya semua kepada sang
pendeta. Kemudian datanglah serigala membawa seekor kadal dan sedikit
susu asam. Si kera datang pula dengan membawa beberapa buah mangga yang
lezat-lezat. Dan akhirnya datanglah kelinci……
Anak-anak tentu mengira kelinci itu membawa makanan yang enak-enak pula,
bukan? Sebab tidaklah dia yang selalu menganjur-anjurkan supaya orang
menjalankan amal! Tetapi, apa yang terjadi? Kelinci tidak membawa
apa-apa. Satu butir makanan pun tidak ada padanya. Memang hari itu hari
sial baginya. Dengan tangan hampa ia berdiri di hadapan orang tua itu.
Ia sangat malu, lebih-lebih terhadap kawan-kawannya.
Dalam hati ia berkata, “Ah, benar-benar binatang tidak berguna aku ini!
Aku yang seringkali berbicara tentang kebajikan beramal, tetapi
kenyataannya aku tidak mampu memberikan apa-apa kepada orang suci ini.
Orang tua yang sangat memerlukan pertolongan dengan segera? Satu-satunya
yang dapat kuamalkan kepadanya hanyalah badanku sendiri. Dan ini harus
kulakukan!”
Karena pendeta itu sebenarnya adalah dewa Cakra, maka
ia dapat mengetahui pikiran orang lain. Oleh karena itu mengertilah ia
akan maksud kelinci itu. Tetapi sebagai pendeta ia dilarang membunuh
makhluk. Sekarang yang perlu diketahui ialah, apakah kelinci itu
benar-benar menyerahkan badannya sebagai makanan? Dikumpulkannya
beberapa batang kayu dan dibakarnya. Kemudian dengan diam ia memandang
kepada kelinci.
Dengan tidak berpikir panjang lagi kelinci itu
meloncat ke dalam api yang menyala-nyala. Dan matilah ia dengan ikhlas
dan bahagia, dengan keyakinan, bahwa perkataan-perkataannya tentang amal
telah dibuktikannya dengan perbuatan.
Dan untuk memperingati
perbuatan kelinci yang penuh keikhlasan dalam menjalankan amalnya, maka
dewa Cakra menganugerahi kepadanya keputusan untuk menghias menara
istana-istana para dewa. Dan anak-anak pun bisa melihatnya di bulan
purnama.